Modernis.co, Malang – Muhammadiyah (MD) sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan yang saat ini memiliki masa terbesar di Indonesia berperan penting dalam menjaga kestabilan negeri ini. Mitsuo Nakamura seorang Antropologi dai Unversitas Chiba menyebutkan bahwa MD memiliki kontribusi besar terhadap Indonesia.
Diantaranya yang sangat jelas yaitu MD menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa dengan ikut membangun dan mengembangkan keberadan Republik Indonesia sejak berdirinya dan sebagai wadah yang berperan dalam mengembangkan inisitiaf warga secara mandiri. Banyak tokoh-tokoh MD yang tercatat dalam sejarah ikut berpartisipasa dalam membangunan Indonesia diantaranya adalah Ahmad Dahlan, Kahar Muzakkar, Ki bagus Hadi Kusumo, Jendral Besar Soedirman dan bayak lagi lainnya.
Pada masa-masa awal, oraganisasi ini terjun kedalam politik praktis dengan menjadi anggota istimewan sebuah partai politik yang bernama MASYUMI (1945-1959) namun karena beberapa hal maka memutuskan diri keluar dan fokus sebagai gerakan sosial keagamaan yang tidak berafiliasi kepada salah satu PARPOL manapun. Pengalaman sejarah tersebut meengajarkan bahwa politik praktis (low politic) hanya fokus terhadap kepentingan sesaat.
Akhirnya Saat ini MD memilih fokuskan sepenuhnya sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang sosial-keagamaan dan selalu menjaga diri secara kelembagaan agar tidak terlibat dengan politik praktis (low politic) prinsip ini menjadi khittah. Khittah ini hasil Muktamar ke -38 di Ujungpandang tahun 1971 selalu dijaga dan dipertahankan.
Walaupun MD bukan partai politik tetapi memiliki posisi sangat strategis dalam dinamika politik nasional. Dengan tidak melibatkan diri ke PARPOL manpun secara lembaga bukan berarati melarang warganya untuk berpolitik. MD tetap memberikan kebebasan sepenuhnya kepada warganya untuk berpolitik.
Dampak positif yang timbul dari kebijakan tersebut beberapa warga MD banyak terjun ke politik praktis dibeberapa partai politik diantaranya seperti Amien Rais (PAN), Zulkifli Hasan(PAN), Rofiq (PERINDO), Muqqoddas Murtado (PBB), Ahsan Ismail (Golkar), Ihtibar Atamaja dan banyak lagi lainnya.
Dalam momentum politik seperti PILEG atau PILPRES keterlibatan warga terutama elit Muhammadiyah dalam dunia politik secara tidak langsung memberikan dampak internal perserikatan. Sehingga kadang sedikit menimbulkan “kegaduhan” karena perbedaan pilihan politik antara satu dengan yang lainnya. Hal ini terjadi bukan sekali dua kali tapi hampir disetiap momentum-momentum politik.
Dijelaskan dalam penelitian David Efendi yang berjudul fragmentasi elit Muhammadiyah dalam pemilihan presidan tahun 2009 bahwa pada PILPRES tahun 2009 sikap politik warga dan elit sangat beragam dan memunculkan banyak kelompok, diantaranya adalah kelompok fragmatisme politik/fundamentalisme politik, kelompok Moderat pasif, kelompok moderat aktif, kelompok khitois dan kelompok apolitis.
Pada prinsipnya dalam dunia politik tidak ada yang abu-abu. Waktu Mejelang mendekati PILPRES tahun 2019 nampak beberapa elit MD mulai menyatakan sikap. Beberapa elit MD menyatakan diri untuk mendukung Pasangan Calon nomor 1 dengan mendeklarasikan Rumah Berkemajuan Indonesia dan beberapa elit lain seperti Amien Rais (Ketum PP Muhammadiyah periode 1995-2000) dan Dhanil (Ketum PP Pemuda MD) yang terlibat aktif menjadi TIMSES untuk Paslon Nomor 2.
Tanpa kita sadari sikap para Eliti tersebut secara tidak langsung memberi dampak besar kepada warga perserikatan lainnya yang ada di daerah-daerah. Fakta dari perbedaan Ijtihad politik ini sebenarnya menguatkan penelitian yang David Efendi bahwa sikap para elit MD dalam politik sangat beragam. Keberagaman ini dikarenakan adanya budaya demokratis dalam diri perserikatan.
Beberapa kelompok terutama Angkatan Muda Muhammadiyah mempermasalahkan gerakan deklarasi RIB dikarenakan membawa jargon perserikaatan tetapi disisi lain juga ada kelompok warga yang mendukung dan ada juga yang tidak memperdulikan sama sekali. Kondisi seperti ini sebenarnya bukan suatu yang baru, dinamika seperti ini ditahun-tahun sebelumnya sudah pernah terjadi.
Dan kini benih “kegaduhan” karena perbedaan pilihan nampak mulai terjadi lagi didalam tubuh perserikatan. Yang harus menjadi catatan bagi setiap kelompok jangan sampai menggunakan cara-cara yang tidak etis. Contoh mengatasnamakan Perserikatan atau memuhammadiyahkan calon tertententu demi menarik simpati warga MD.
Kondisi seperti ini membutuhkan kedewasaan siakap dari warga MD agar perbedaan ini jangan sampai menjadi perpecahan yang nantinya akan mengakibatkan kerugian bagi Internal perserikatan sendiri. Juga harus coba dipahami bahwa Perbedaan Ijtihad politik para elit yang terjadi ini sesungguhnya membawa spirit niat baik yaitu ingin menjadikan Indonesia lebih baik dengan menempuh jalur yang berbeda.
Menjadi poin penting bahwa pilihan politik tersebut diatas sebenarnya merupakan sikap politik personal kader, bukan sikap politik dari perserikatan secara kelembagaan. Sikap perserikatan dalam berpolitik akan patuh terhadap khittahnya. Dan Jika dilihat secara kelembagaan selama ini Perserikatan Muhammadiyah sudah memiliki cara berdakwah lewat jalur politik yang tepat, Din Syamsudin mengistilahkannya dengan politik akomodatif atau menurut Amien Rais high politic.
Oleh: Arif Kurniawan, S.H. (Aktivis IMM Malang Raya)